SENGKUNI
Oleh: H. Dadang A. Sapardan, M.Pd., Kp
Hari-hari
ini diksi Sengkuni cukup banyak bertebaran di ruang-ruang media sosial. Diksi
Sengkuni diarahkan oleh pihak tertentu kepada sosok tokoh politik yang dianggap
memiliki keterwakilan watak Sengkuni dengan sifat licik melalui perilaku adu
domba yang diterapkannya demi menggenggam kekuasaan yang diinginkan. Sosok
tokoh politisi ini distigmaisasi sebagai Sengkuni masa kini dalam memainkan
peran pada dinamika politik Indonesia. Langkah-langkah yang dilakukannya
dianggap mengarah pada upaya pemecahbelahan dalam kehidupan politik Indonesia.
Menjelang perhelatan Pemilu tahun 2024, tokoh yang distigmaisasi Sengkuni
muncul lagi dengan intensitas yang lebih banyak dari sebelumnya. Mereka
dianggap menjadi tokoh yang berpotensi untuk melakukan pecah-belah dalam
merengkuh kekuasaan, terutama kekuasaan politik.
Sebagai bentuk
budaya tradisional Indonesia, wayang merupakan kesenian yang sangat digandrungi
oleh masyarakat, terutama masyarakat kategori bawah sampai menengah. Pementasan
wayang menjadi bentuk hiburan rakyat yang menyedot banyak animo masyarakat
untuk menontonnya. Pada zaman keemasannya, pementasan wayang menjadi episentrum
pengumpulan masa yang cukup efektif. Bahkan, salah seorang Wali Songo
menjadikan wayang sebagai media penyebaran agama Islam karena efektivitas
penyebarannya.
Pada sisi
penampilan, berbagai karakter manusia dengan latar belakang kerajaan disajikan
dalam pementasan wayang oleh sang dalang. Beragam karakter yang merefleksikan
heterogenitas sifat manusia dalam keseharian, ditampilkan dalam pementasan
wayang. Sekalipun demikian, karakter yang dominan, tampil dalam dikotomi
hitam-putih. Terdapat dua karakter dominan dalam dunia pewayangan, yaitu
karakter protagonis dan antagonis. Kedua karakter tersebut terefleksikan pada
setiap tokoh dari wayang.
Substansi dari
jalan cerita yang ditampilkan pada pementasan wayang, baik wayang golek maupun
wayang kulit adalah perebutan kekuasaan. Bagaimana pola-pola perebutan kekuasan
dilakukan oleh para tokoh dalam pewayangan. Perebutan kekuasaan yang dilakukan
tentunya sesuai dengan pola-pola lama, yaitu melalui peperangan antara pihak
satu dengan pihak lainnya.
Sosok Sengkuni
menjadi tokoh antagonis yang merepresantikan manusia serakah untuk meraup
kekuasaan yang sesuai dengan harapannya. Upaya untuk meraup kekuasaan ini
dilakukan dengan berbagai cara-cara licik, jahat, menebar fitnah, menerapkan
politik adu domba, dan menghalalkan berbagai cara lainnya. Tokoh ini dengan
strategi liciknya melakukan berbagai trik untuk dapat merebut kekuasaan dari
pihak-pihak tertentu yang secara galib memiliki hak untuk memegang kekuasaan.
Berbagai akal bulus yang diterapkannya, menjadi cikal bakal terjadinya perang
bharatayudha antara pihak pandawa dan kurawa.
Sengkuni adalah
tokoh antagonis yang menebar keadaan gonjang-ganjing. Dengan berbagai fitnah
dan adu domba yang ditebarkannya, Sengkuni berupaya memperoleh kekuasaan untuk
meluluskan kepuasannya. Berbagai upaya yang dilakukan Sengkuni adalah cara-cara
jahat yang tidak dapat ditolelir. Kejahatan tetaplah kejahatan, sekalipun
dibungkus dengan berbagai alasan.
Pola-pola yang
dilakukan Sekuni ternyata tidak menjadi hak prerogatif dunia pewayangan.
Pola-pola yang dilakukan Sengkuni, berlaku dan diterapkan oleh manusia modern.
Berbagai upaya licik dan jahat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk dapat
maraup kekuasaan dan memuaskan syahwatnya. Dalam konteks kehidupan modern, setting
yang berlangsung tentunya bukan setting kerajaan.
Upaya demikian,
terasa semakin mudah dalam ruang-ruang digital yang mewarnai era revolusi
industri 4.0 (computer/internet of things).
Era yang semakin memperlihatkan kekerapan intensitas pemanfaatan perangkat
digital oleh masyarakat pada beberapa domain kehidupannya. Salah satu yang
paling dominan dalam kehidupan mereka adalah penggunaan berbagai kanal media
sosial dalam melakukan perhubungan dan menemukan informasi. Masyarakat sudah
mulai terbiasa mencari informasi, pengetauan, serta berkomunikasi dengan
menggunakan perangkat digital. Berbagai kanal media sosial—whatsapp,
facebook, instagram, twitter, michat, serta youtube—telah menjadi bagian
keseharian kehidupan mereka.
Dengan fenomena
yang terjadi tersebut, diperlukan kejelian masyarakat untuk tidak terbawa arus
pada kristalisasi pemahaman yang diproduksi dengan dilatarbelakangi niat jahat,
licik, dan mengadu domba, layaknya Sengkuni dalam dunia pewayangan. Sengkuni
bukanlah tokoh yang hanya ada pada dunia pewayangan. Sengkuni adalah
representasi dari karakter manusia jahat, licik, dan haus akan kekuasaan yang
akan ada sepanjang kehidupan dunia ini. Kapanpun dan di manapun, perwatakan
Sengkuni akan tetap hadir menghiasi dinamika kehidupan ini.
Dalam kehidupan
keseharian, tipikal Sengkuni dapat hadir pada setting organisasi,
instansi kerja, dan berbagai setting lainnya. Dengan demikian, kesadaran
akan hadirnya tipikal karakter seperti ini harus terus dibangun sehingga
siapapun yang berhadapan dengan tipikal ini, akan mampu menyikapinya dengan
bijak sehingga tidak terjerumus pada strategi yang diterapkannya. ****DasARSS.
Penulis adalah Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat.
Tidak ada komentar: