Kebijakan Strategi Merdeka Belajar
Oleh: Dadang A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu lalu, pada media sosial sempat
terjadi diskursus tentang Merdeka Belajar yang digulirkan oleh Mendikbudristek.
Di antara diskursus tersebut sempat ada lontaran yang memaknai merdeka belajar
sebagai kebebasan tanpa batas, tanpa koridor yang mengaturnya. Merdeka belajar
dimaknai sebagai keterbebasan dari belenggu aturan/norma yang diterapkan oleh
pihak lain, terutama pemerintah. Pemahaman tersebut sah-sah saja dalam ranah
diskursus, tetapi merdeka belajar dalam konteks yang disampaikan oleh
Mendikbudristek, tentu tidak mengarah pada pemaknaan demikian.
Dengan kewenangan yang dimilikinya, Nadiem
Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
menggulirkan konsep merdeka belajar dalam tata Kelola pendidikan di negeri ini.
Konsep ini mengarah pada kebijakan strategis yang harus dirancang dan
diterapkan oleh setiap sekolah sebagai lembaga paling hilir dalam penerapan
kebijakan pendidikan.
Pada awalnya tidak kurang dari empat konsep yang digulirkan oleh 'gerbong' Merdeka Belajar. Pertama, mengembalikan kewenangan ujian/penilaian pada sekolah
dan guru. Kedua, menghentikan pelaksanaan Ujian Nasional dan menggantinya
dengan Asesmen Nasional yang formulasi pelaksanaan berbeda sekali. Ke tiga,
menyederhanakan RPP agar lebih berfokus pada pembelajaran dan penilaian siswa
secara holistik. Keempat, menerapkan sistem zonasi pada pelaksanaan PPDB,
sehingga lebih luwes dan berkeadilan.
Ke empat konsep yang digulirkan tersebut
secara kasat mata memperlihatkan pembukaan kran otoritas kewenangan terhadap
sekolah. Karena itu, langkah yang harus diberikan oleh sekolah dalam kaitan
dengan kebijakan ini adalah menyiapkan seluruh warga sekolah untuk mampu
merespons dengan baik. Langkah strategis yang harus dilakukan adalah menyiapkan
diri untuk mampu menerjemahkan merdeka belajar dengan komprehensif dalam
tataran implementasi. Dengan demikian, tidak terjadi malmanajemen pengelolaan
sekolah yang diakibatkan oleh ketidakpahaman dan ketidakmampuan merespons serta
menyikapi kebijakan merdeka belajar.
Merdeka Belajar tidak dapat dimaknai sebagai
kebebasan atau keleluasaan tanpa batas yang bisa diambil oleh setiap penentu
kebijakan, baik pengawas, kepala sekolah, guru, maupun stakeholder sekolah
lainnya. Dalam implementasinya, masih terdapat pakem-pakem atau koridor yang
harus diikuti oleh seluruh stakeholder sekolah saat membuat keputusan terkait
dengan manajemen pengembangan sekolah, maupun manajemen pembelajaran. Sekalipun
demikian, dalam konsep ini seluruh pelaksana kebijakan pendidikan harus
terbebas dari rasa takut akan hukuman saat menjalankan amanat yang sesuai
dengan norma, aturan, atau koridor yang berlaku.
Melalui pengguliran Merdeka Belajar,
setiap stakeholder sekolah dituntut agar memiliki kemampuan
guna mengatur dirinya dengan leluasa saat harus menafsirkan dan menjalankannya.
Melalui penerapan konsep merdeka belajar, dimungkinkan setiap stakeholder
sekolah dapat bekerja sama satu sama lainnya dalam mengelola dirinya (self-organized).
Karena itu, merdeka belajar lebih mengarah pada upaya pentingnya menjadi diri
sendiri sehingga menjadi pemicu bertumbuh dan berkembangnya sekolah.
Dengan implementasi merdeka belajar,
seluruh stakeholder sekolah mendapat ruang dan waktu dengan
lebih luas sehingga dapat berkreasi dan berinovasi. Lahirnya
kebebasan/keleluasaan tersebut dimungkinkan akan dapat mendorong akselerasi
peningkatan kualitas sekolah. Dengan kata lain, penerapan konsep merdeka belajar
merupakan upaya yang dilakukan untuk memperkuat implementasi manajemen berbasis
sekolah (MBS) yang telah lama digulirkan Kemdikbud.
Karena itulah, seluruh stakeholder sekolah
harus dapat memanfaatkan moment ini untuk dapat mengimplementasikan berbagai
kreasi dan inovasi dalam upaya memajukan sekolah. DasARSS.
Tidak ada komentar: